TUHAN PANCASILA
Bagian 2: “MELETAKKAN IDE TUHAN”
Oleh: Andri Gunawan
Ide tentang Tuhan menciptakan
beragam kombinasi imajinasi konsep tentang Tuhan dalam benak akal manusia.
Tuhan dalam Ontologi begitu tak terjangkau oleh relativitas akal, sehingga
manusia hanya menggunakan daya imajinasi untuk membayangkan wujud Tuhan Sang
Mahakuasa atas alam. Ruang imajinasi akal manusia tidak pernah sepi dari
konsep-konsep ontologi Tuhan yang ia bangun di dalam kepalanya. Karena Tuhan
ontologi tak terjangkau, maka manusia berupaya mewujudkan Tuhan ontologi yang
lebih ia fahami. Tuhan dalam wujud yang ia mampu jangkau untuk lebih mampu
memaknai struktur Tuhan itu sendiri.
Ruang Tuhan ontologis ini
menghasilkan beragam produk tuhan hasil kreasi imajinasi akal atas konstruksi
makna tuhan dalam benaknya. Tuhan dalam produk akal inilah yang kemudian
memunculkan konsep berhala (pembendaan Tuhan) dalam sejarah peradaban manusia.
Tuhan yang ia produksi sendiri agar lebih mudah difahami, dimengerti, yang
sesungguhnya benda-benda itu pada awalnya hanyalah simbol eksistensi Tuhan yang
sesungguhnya, yang tak terjangkau akal manusia. Dalam wujud tuhan yang
dibendakan inilah kemudian manusia lebih mudah memahami Tuhan, Dia yang lebih
mudah dijelaskan oleh pendekatan empiri pancaindera. Sehingga wujud tuhan benda
yang awalnya hanyalah simbol Tuhan, kini berubah menjadi tuhan yang
sesungguhnya dalam benaknya.
Terdapat hal menarik untuk dicermati
dari konsep imajinasi tuhan yang dibangun oleh peradaban manusia itu, bahwa
Tuhan tidak pernah lepas dari ruang rasionalitas akal manusia sama sekali. Yang
terjadi adalah keragaman konsep tentang tuhan karena Dia diciptakan dan
dibangun di dalam benak manusia yang beragam. Batu, kayu, hewan, makhluk halus,
laut, gunung, tanah, lembah, patung menjadi tuhan yang diimajikan oleh manusia.
Disinilah hakikatnya akal telah membawa manusia dalam proses sesat fikir
(syirk) akan hakikat Tuhan. Untuk itu Dia (Allah) sendiri yang harus hadir
untuk menjelaskan diriNya sendiri.
Tuhan hadir dalam pesan-pesan
yang dibawa oleh para utusanNya (Nabi dan Rasul) untuk menjelaskan hakikat
DiriNya melalui narasi Kitab Suci (Zabur, Taurat, Injil hingga al-Qur’an). Dia
hadir melalui ratusan utusanNya menjelaskan eksistensi DiriNya kepada manusia,
Narasi teks Kitab Suci menjelaskan hakikat Tuhan secara ontologi (Tuhan dalam
wujud DzatNya), hingga hakikat Tuhan dalam epistemologi (Tuhan yang hadir dalam
akal dan rasa). Tuhanlah yang memperkenalkan diriNya kepada manusia melalui
perantaraan utusanNya untuk menyampaikan Kitab Suci (Qs.[59]:22–24).
Ketika Nabi Ibrahim a.s.
berupaya mengenal Tuhan (Qs.[6]:76–78) hakikatnya juga menunjukkan gambaran
perjalanan peradaban sejarah umat manusia dalam upaya mencari Tuhan. Nabi
Ibrahim a.s. mengenalNya hakikatnya menunjukkan sebuah simbol proses pencarian
manusia dalam mengenal Sang Adi Kodrati, dan terbukti bahwa manusia tersesat
dalam menggapai Tuhan, sekelompok manusia menuhankan bulan, sekelompok lainnya
menuhankan matahari, dan benda lainnya. Untuk itu maka Dia, Allah sendiri hadir
memperkenalkan diriNya kepada manusia.
Hanya manusia dengan kualitas
tertentu, seperti Rasulullah Muhammad Saw yang memiliki pengetahuan Tuhan
Ontologis, Allah dalam wujudNya, yaitu ketika Beliau Saw melakukan perjalanan
Isra-Mi’raj berhadapan dan melakukan dialog langsung dengan Tuhan. Manusia,
selain Nabi dan Rasul seperti halnya Rasulullah Saw, dengan kualitas
kemanusiaannya kini hanya dapat mencoba mengenalNya melalui narasi Kitab Suci.
Tuhan hanya hadir melalui wujud-wujud selainNya (bintang, bulan, matahari, dan
alam semesta) sebagai tanda-tanda dan bukti empiris kehadiranNya (Qs.[3]: 190,
[45]:13).
Bukti empiris menuntut kerja
akal dalam menggapai hakikat Tuhan. Dia terselimuti oleh tabir yang tak
tertangkap pancaindera, dan manusia mencoba mengenalNya dengan dua cara, yaitu
akal dan hati. Daya guna kerja akal pada hakikatnya mendukung kerja pancaindera
memahami Tuhan Ontologis dalam segenap ciptaanNya. Hati menjadi hal yang
menarik, karena disinilah letak epistemologi Tuhan bekerja, Tuhan dalam
pemahaman kerja akal dan hati manusia. Tuhan hadir dalam setiap akal dan hati
manusia, Dia didekati melalui sebuah kedalaman hati dan ketinggian, yaitu keyakinan
atau iman(faith).
Ide Tuhan Ontologis yang tak
terjawab oleh akal bahkan hati sekalipun dapat difahami dengan hadirnya Tuhan
dalam epistemologi. Dia yang hanya dapat dirasakan hadirNya oleh akal dan hati,
bagaimana kita merasakan kehadiran Tuhan dalam jiwa. Maka akal dan hati kini
bekerja menjawab beragam pertanyaan mengenai Tuhan. Kategori Tuhan
epistemologis inilah yang didialogkan oleh kerja akal dan hati. Kerja,
sifat-sifat Tuhan, kehadiran benda alam semesta sebagai sebuah sign atau
tanda-tanda kebesaranNya didialogkan dalam sejarah perjalanan peradaban
manusia.
Meletakkan ide Tuhan merupakan
bentuk dari kesadaran metafisika atas diri manusia dan alam semesta. Alam yang
mengada, bergerak, berputar, berotasi menunjukkan sebuah ide metafisika, sebuah
pemahaman atas sebuah kerja entitas tertentu yang melampaui (beyond) kerja ide
fisik. Bahwa manusia memahami ada sebuah kehendak tertinggi yang melampaui
segala yang nyata sebagai ide fisik bagi manusia dan alam semesta.
Tasawuf dan Ide Tuhan
Epistemologis
Tasawuf adalah sebuah ilmu
yang memahami diri pribadi manusia, menelaah ke dalam jiwa manusia untuk
mengetahui hakikat manusia dihadapan Tuhan. Tasawuf menjadi sebuah ilmu yang
mencoba menelaah relasi manusia dan Tuhan, juga menelaah ke dalam sisi batiniyah
manusia terdalam dalam hubungannya dengan sesamanya, serta sebuah metode untuk
mendekatkan diri pada nilai moral dan etika (Chiabotti, eds., 2017:6). Ia dapat
menjadi sebuah epistemologi untuk memahami makna bertuhan manusia, memahami
sejauh mana manusia mampu menempatkan ide Tuhan dalam dirinya. Tuhan bukanlah
hal asing dalam gagasan tasawuf, Tuhan adalah ide utama keilmuan tasawuf yang
mengajak manusia selalu melekatkan jiwa bersamaNya.
Ide Tuhan epistemologis ini
menjadi diskursus dalam perdebatan akal manusia. Dia Tuhan yang digambarkan
dalam kesadaran nalar manusia, kesadaran yang muncul atas eksistensi Tuhan yang
hendak dicapai oleh nalar manusia. Para ideolog ekstrim juga kerap menggenggam
intepretasi makna Tuhan dalam imajinasinya, lalu acapkali pula menghadirkan
interpretasi itu dalam bentuk yang destruktif bagi kemanusiaan. Para ideolog
yang telah mengabsolutkan pemikirannya, tetapi tidak mengabsolutkan Tuhan itu
sendiri.
Ide Tuhan dalam epistemologi
(Tuhan dalam pendekatan akal fikir, dan hati manusia) coba digagas dalam
beragam pemahaman. Manusia dengan segenap pemahamannya mencoba untuk melihat
eksistensi Tuhan dalam keragaman berfikir manusia. Manusia yang berupaya
meletakkan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya, dan berupaya untuk menekan ego
kemanusiaannya. Sifat-sifat Tuhan adalah teladan perilaku dalam akal fikir
manusia, menentukan arah perbuatan menuju pada apa yang dikehendaki oleh Tuhan
di dalam dirinya.
Sifat Tuhan dalam keagungan
ditiru dan dicoba diwujudkan dalam sifat partikular manusia. Kesucian Tuhan
yang tercermin dari sifat Mahasuci dicoba untuk diteladani melalui sifat-sifat
kesucian manusia (Qs.[91]:9–10). Tentunya bukanlah sebuah kesebandingan antara
sifat Tuhan yang absolut dan sifat manusia yang relatif, karena keduanya tak
dapat dibandingkan. Dalam hal ini manusia mencoba meletakkan sifatNya ke dalam
dirinya selaku manusia dengan segenap kemanusiaannya.
Meletakkan ide Tuhan tidak
berarti meletakkan kebesaran Tuhan dalam diri manusia, Dia tetap tak
terjangkau oleh nalar rasio akal manusia. Maka jalan terbaik meletakkan ide
Tuhan hanyalah dalam bentuk meneladaninya dalam sifat. Tuhan yang bekerja dalam
hati manusia dirasakan hadirNya. Bahwa manusia dan alam hanyalah
ketidakpastian, relativitas makhluk yang melangkah dalam batas-batas yang telah
ditentukan oleh Tuhan. Dia yang mengendalikan manusia dengan kekuasaanNya
(Qs.[2]: 284), sekaligus kelemahlembutanNya (Qs.[3]:159). Allah itu Maha Lemah
lembut dan mencintai kelembutan (HR. Bukhari).
Mahakuasa menunjukkan sebuah sisi maskulinitas Allah dalam berbuat dan bertindak. Maha Lemah lembut menunjukkan sisi feminitas Allah dalam berbuat. Maskulinitas disimbolkan melalui hadirnya neraka yang menghukum, sedangkan sisi kelembutanNya diwujudkan dalam bentuk surga yang penuh dengan kasih-sayang. Maskulinitas dihadirkan melalui syariah yang tegas, sedangkan feminitas dihadirkan melalui tasawuf yang penuh cinta.
Tasawuf menjadi sebuah metodologi keindahan yang menghadirkan Tuhan yang penuh kasih sayang dan cinta kasih. Allah merupakan entitas absolut yang hadir dengan kasih sayang yang absolut pula. Allah menunjukkan sebuah kasih sayang yang melampaui kemurkaanNya, Sesungguhnya rahmatKu melampaui kemurkaanKu (HR. Muslim № 2751). Sebuah proses bertindak Tuhan yang penuh kasih sayang, kelembutan, dan cinta. Sifat ini masuk menginternalisasi jiwa manusia terdalam sekaligus menjadi metodologi sikap tindak manusia.
Meletakkan ide Tuhan epistemologis yang penuh kelembutan dalam sisi kemanusiaan manusia memberikan sebuah pemahaman bahwa setiap titik manusia adalah kehendak Tuhan. Bahwa Dia menjadi causa atas gerak kosmos. Gerak manusia yang berkehendak selalu dalam jangkauan pengetahuanNya.
Tuhan hadir dalam bentuk yang lemah-lembut menjadi sebuah metodologi perilaku aktif manusia. Ia menundukkan ruang ego, menekannya hingga ke dasar. Manusia hanyalah entitas yang mengada, hadirnya semata atas hadirNya. Manusia yang memginternalisasi dirinya dengan ide Tuhan yang penuh kasih-sayang ini juga mengajarkan sebuah nilai berbagi menyebarkan kasih sayang bagi sesama makhluk Allah di bumi.
Manusia mencoba mengarahkan jiwa batiniyahnya sesuai dengan kasih sayang yang ditanamkan olehNya. Manusia menjadi titik utama untuk mendistribusikan Cahaya Tuhan bagi sesama makhluk. Menerangi dan memberikan kehangatan Cahaya Tuhan bagi dunia yang selalu dia pijak. Manusia memposisikan dirinya sebagai zat ketiadaan dalam berhadapan dengan Tuhan. Manusia yang terpenjara oleh ruang meletakkan ide Tuhan untuk melepaskan dirinya dari keterpenjaraannya. Manusia hanyalah tetes air yang lebur di tengah lautan yang sangat luas, ia menjadi kehilangan eksistensi wujudnya dihadapan wujud hakiki Tuhan. Eksistensi keunggulan dan baik buruknya manusia hakikatnya adalah karena penilaian Tuhan terhadap diri manusia, dan bukan penilaian manusia atas dirinya sendiri (Abrahamov, 2003:52).
Sebagai sebuah kritik penting, ingin saya sampaikan terutama terkait dengan paradoks metafor yang diusung oleh salah satu komunitas tasawuf yang terkait dengan Uungkapan “Bukakan Pintu Langit, Getarkan Bumi”. Sebuah ungkapan metafor yang menunjukkan siapa sosok dibaliknya yang seolah adisombong dan adibisa yang menganggap manusia pelaku tasawuf tersebut sebagai causa atas terbukanya pintu langit dan bergetarnya bumi. Kebodohan epistimologi yang berbau dan melacurkan diri kepada pemahaman muta’zilah, bahwa manusia seolah menjadi causa atas segala sesuatu. Sekali lagi, bahwa eksistensi keunggulan manusia hakikatnya adalah karena penilaian Tuhan terhadap diri manusia, dan bukan penilaian manusia atas dirinya sendiri. Dan sekali lagi perlu ditekankan bahwa Meletakkan ide Tuhan tidak berarti meletakkan kebesaran Tuhan dalam diri manusia, Dia (Allah SWT) tetap tak terjangkau oleh nalar rasio akal manusia.
Manusia dan segenap eksistensi kosmos yang hadir semata hanyalah menjadi petunjuk, kosmos dan segenap eksistensinya mengarahkan pada eksistensi ontologi Allah yang tersembunyi di dalam tabir. Maka kini manusia mencoba menelaah, memahami kerja Allah pada alam semesta. Manusia yang menjejak langkah di bumi yang selalu meletakkan Allah di setiap gerak dan fikirnya. Epistemologi gerak akal manusia yang selalu meletakkan ide cinta Tuhan di dalamnya.
Ketika Syaikh Siti Jenar meletakkan konsep manunggaling kawula gusti, tentu yang digagas bukanlah Tuhan ontologis (Tuhan dalam Wujud). Dia meletakkan konsep Tuhan epistemologis (Tuhan dalam akal dan rasa dalam bentuk kasih sayangNya) yang dilekatkan erat dalam hati dan jiwa manusia terdalam. Tuhan ontologis tidak mungkin menyatu dalam relativitas raga manusia, tetapi rahmat, rahman dan rahim Allah yang dirasakannya selalu melekat dalam hati dan gerak manusia terdalam. Inilah hakikat jiwa terdalam, bahwa eksistensi jiwa manusia yang selalu diisi oleh rasa Ketuhanan, manusia yang selalu merasakan hadirnya Allah di dalam hatinya. Hakikat manusia yang selalu merasa di tengah lautan rahman dan rahimNya.
Ketika Muhyiddin ibn Arabi meletakkan gagasan bahwa kesemua yang ada hanyalah wujud Allah sebagai wujud tunggal, yang lain hanyalah maujud atau wujud-wujud tak nyata, maka dia menjelaskan bahwa sesungguhnya manusia hanyalah entitas wujud yang tak bermakna dihadapan keagunganNya. Ia bagai setetes air yang menghilang tanpa makna ketika ia menetes di tengah samudera luas. Apa yang dapat dibanggakan oleh manusia dihadapan Allah? Manusia hanyalah ketiadaan dan kehilangan eksistensi jika berdiri dihadapan eksistensiNya. Dunia hanyalah cermin kehadiranNya, dunia dan segala kemegahannya adalah cermin dari kemegahan Tuhan itu sendiri (Fadiman & Frager, 1998:74). Bukan manusia dan dunia ini yang agung, tetap Dia yang sesungguhnya Maha Agung.
Disela rehat tentang perjalanan mendudukan kata Tuhan ini, maka “saya hanya mengetahui tentang apa yang sejatinya tidak saya ketahui”, namun manusia kodrati akan terus berpetualang mencari epistemologi Tuhan.
Tiada apa ENGKAU membuat aku diam dalam urusan duniaku, jika memang puncak tauhid itu adalah Diam. Namun, ku mohon janganlah ENGKAU membuat aku diam dalam setiap usahaku untuk Mengenali-MU.
Tamat
#tiadajauhtiadadekat,tiadanyasetiapkeadaan
Wallahu a’lam
Andri Gunawan

0 Komentar