SURAT IMAJINER UNTUK YANG LULUS PPG
Andri Gunawan
Raut bahagia terpancar dari salah seorang rekan kerja saya yang baru saja menerima pengumuman lulus PPG. Kebahagiannya adalah kebahagiaan kita semua. Kebahagiaan yang fana diantara realitas dan imajinasi.
Secara realitas ada syariat yang nampak telah dilakoni hingga dicapainya predikat lulus yang dibuktikan dengan di dapatkannya sertifikat profesi pendidik. Sebuah laku lakon yang membutuhkan pengorbaan waktu, tenaga, pikiran yang dibarengi dengan amat sangat serius dan penuh heroik.
Sedangkan secara imajiner kita soroti saja dari imajinasi humor agar tidak terlalu serius. Menurut Bergson, humor merupakan salah satu imajinasi manusia dalam kelompok sosial. Kita tidak akan menghargai humor jika kita terisolasi. Disinilah tawa selalu merupakan pembongkaran dari rahasia bersama, mimpi bersama dan visi bersama, baik yang nyata maupun yang imajiner. Tawa dengan begitu dapat dipandang sebagai suatu penyaluran atau kemarahan sosial. Bergson menegaskan, untuk memahami tawa kita harus meletakkan tawa kepada lingkungan asalnya, masyarakatnya. Tawa harus memiliki kebersamaan sosial. Karena bahaya jika “kita hanya tertawa sendiri”.
Tertulislah sebuah surat imajiner yang saya ungkapkan dari obrolan awam yang sering kita dengar dalam percakapan di warung-warung kopi. Walaupun dalam imaji humor namun harus dipahami juga secara realitas. Memang surat imaji bodoran yang akan disuguhkan ini masih jauh jika dibandingkan dengan humornya para sufi. Iya, humornya para sufi yang senatiasa menertawakan diri sendiri sekaligus menertawakan Tuhan pencipta diri-diri.
Dear yang lulus PPG,
Sebagai pembuka Saya ucapkan
kata selamat untuk Anda. Selanjutnya, Saya sampaikan kepada Anda sebagaimana
telah Anda ketahui secara seksama. Bahwa program PPG ditujukan bagi profesi
guru/pendidik. PPG adalah program mendidik pendidik sehingga menjadi pendidik
terdidik. Dalam kalimat normatif disebutlah Pendidikan Profesi Guru (PPG).
Pendidik yang semakin terdidik akan semakin mendidik. Berbeda dengan pendidik
yang tidak terdidik. Terdidiknya pendidik menjadi syarat agar pendidik memiliki
kemampuan untuk mendidik. Di negeri +62 ini terdapat empat sasaran utama dalam mendidik
pendidik. Pertama, pendidik diharapkan terdidik secara pedagogis, sosial,
kepribadian, dan terdidik secara profesi.
Saya begitu yakin Anda dapat lulus karena Nilai Anda yang melampaui batas minimal. Perolehan nilai menjadi alat ukur utama dalam kelulusan pendidik sehingga pendidik terdidik di labeli memiliki kemampuan mendidik. Maka satu sisi ini saja (NILAI) yang ingin saya sampaikan kepada Anda, karena inilah yang dikeluhkan dalam setiap obrolan di warung kopi bersama mereka dari Gen-z.
Dear yang lulus PPG,
Ini titipan dari si bawel anak
kuliahan semester 5, dia nanya, iya nanya. Sebegitu pentingkah nilai? sampai
peserta didik dan guru-guru bahkan orang tua terlibat dalam over antusias
terhadap nilai?
Inikah pendidikan yang kita inginkan, di mana anak-anak kita hanya di didik intelektualnya, tanpa dimatangkan energinya, dibentuk karakternya, dan diasah hatinya?
Pendidikan yang tidak pernah
mendidik kemampuan riil yang dibutuhkan di kehidupan nyata, namun hanya
melahirkan orang-orang yang pintar ditempurung otaknya saja.
Pendidikan yang hanya satu
arah, sehingga generasi penerus kita terbiasa menunggu dan mendengarkan tanpa
kreativitas dan inisiatif?
Inikah bentuk pendidikan yang ada dalam lubuk hati terdalam Anda?
Kalau memang ini pendidikan
yang ideal, mengapa banyak orang-orang yang dicap bodoh dan DO justru bisa
menjadi orang sukses sedangkan mereka yang dicap pintar di sekolahnya justru
tidak menjadi apa-apa dan tidak bemanfaat. Jangankan bagi orang lain bagi
dirinya pun tidak. Padahal menurut sekolah, institusi yang mempersiapkan
generasi untuk menghadapi dunia nyata, merekalah (yang pintar) yang paling siap
untuk “dipakai”.
Saya ajak Anda mundur terlebih dahulu ke abad 18. Kenapa? Karena dari sanalah asal mula sistem dan metode pendidikan yang kita pakai selama ini.
Jadi ceritanya (maaf saya pake
bahasa gaul aja), dahulu itu sekolah dalam format seperti yang kita kenal
sekarang ini merupakan bikinan dari Raja Prussia di tahun 1716, Frederick
William I dengan tujuan menguatkan pengaruh dari kerajaan terhadap masyarakatnya.
Bukan untuk mengoptimalkan potensi dari masing-masing individu, bukan. Apalagi
buat mencerdaskan kehidupan bangsa Prussia, jauh dari itu. (Kapan-kapan
diceritain deh yang agak panjang di tulisan lain. Kalau yang penasaran, nanti ada
jurnal yang bisa dibaca)
Format ini diperkuat dengan datangnya masa Revolusi Industri. Kebutuhan dari pabrik-pabrik dan kekuatan ekonomi pada masa itu adalah pegawai yang siap pakai. Ga perlu yang kreatif-kreatif amat. Makanya harus dibikin yang standar dan cepet.
Dampak dari hal-hal di atas adalah terpendamnya potensi diri manusia. Kenapa? Lha karena mereka butuh cepet, yang sudah terstandarisasi. Mindset efisiensi pabrik yang muncul di masyarakat membuat pendidikan publik juga terseret ke arah tersebut.
Pendidikan satu arah, penilaian dengan harapan pencapaian standar, ujian standarisasi, kelas berdasar angkatan (batch/Shif), bukankah ini elemen dari pabrik? Kalau kita bilang sekolah itu PABRIK MANUSIA, salah atau tidak?
Metode pabrik ini masalah dan kelemahannya banyak sekali. Di list aja deh biar mantep:
·
Tidak melihat potensi diri
masing-masing murid
·
Hanya fokus pada kemampuan
intelektual yang umum
·
Pakai ranking-rankingan
segala
·
Hasil yang diinginkan
adalah standarisasi kompetensi
·
Isi materinya hafalan dan
teori, minus penghayatan
·
Tidak memberi materi
dasar-dasar pola pikir
·
Berbasis umur, tidak
berbasis pemahaman
·
Setiap anak dianggap
kemampuan belajarnya setara
·
Guru tidak dihargai dan
tidak dihormati
·
Tidak mengajarkan life
skill yang relevan dalam hidup di masanya
dll
Ini semua kelemahan yang akan sangat menyusahkan kita ke depan. Kenapa? Karena di zaman Revolusi Informasi dan Industri Kreatif seperti sekarang ini, kelemahan-kelemahan di atas akan membuat anak-anak kita semakin tertinggal. Apalagi kalau kita inget bahwa 2045 itu kita udah masuk era Indonesia emas yang harus di isi oleh generasi emas. Ngak bisa di isi oleh generasi perak apalagi perunggu.
Jadi begini, manusia tidak ada yang sama, masing-masing memiliki minat, bakat, dan potensi dirinya masing-masing. Revolusi Informasi dan Industri Kreatif sebenarnya sangat membutuhkan berbagai macam kemampuan yang berbeda-beda dari masing-masing orang, namun sayangnya orang-orang dengan bakat-bakat spesial ini justru seringkali dianggap bodoh oleh sekolah.
Kenapa dianggap bodoh? Ya karena mereka tidak mendapatkan nilai yang bagus di semua bidang. Sistem ranking yang ada di sekolah-sekolah itu dihitung dari nilai total. Adakah penghargaan atau apresiasi bagi siswa dengan kemampuan khusus di bidang-bidang tertentu? Kalau pun ada, bidang apa yang diapresiasi? mayoritas cuman Kognitif dan akademik melulu.
Kapan anak-anak kita dengan potensi yang besar di seni, olahraga, public speaking, organisasi dan kemampuan lain yang sebenarnya jauh lebih relevan di kehidupan nyata dapat dikembangkan lebih lanjut?. Jadi kita tuh, mau mendidik semua anak atau beberapa anak saja?.
Sampai kapan kita akan membiarkan calon-calon Mozart, J.K. Rowling, Richard Branson, Edison, Einstein, George Saa, dan Bob Sadino berikutnya meringkuk di pojokan, menganggap dirinya tidak bernilai apa-apa hanya karena potensi diri yang ia miliki tidak memiliki tempat dalam kehidupan “tidak nyata” yang bernama sekolah?
Padahal ya, kelahiran seorang manusia tu ajaib, asli. Nih coba ya dipikir, ada beberapa step soalnya:
Dari sekian milyar wanita dan
sekian milyar pria yang pernah hidup di bumi, mengapa wanita yang menjadi Ibu
dan pria yang menjadi Bapak kita adalah Ibu dan Bapak kita sekarang?
Dari sekian milyar sel sperma
yang Bapak kita miliki seumur hidupnya dan sekian juta sel telur yang Ibu kita
miliki seumur hidupnya, mengapa sel sperma dan sel telur yang menjadi awal mula
kita adalah 1 sel sperma dan 1 sel telur yang pada waktu itu bertemu?
Dari jutaan kilometer persegi
luas bumi, mengapa kita dilahirkan di kota kelahiran yang ini?
Dari ribuan tahun manusia ada
di Bumi, mengapa kita dilahirkan pada tanggal kelahiran kita?
Sebenernya masih banyak lagi
hal-hal yang menunjukkan betapa unik dan spesialnya seorang manusia itu. Tapi
empat hal di atas seharusnya sudah memberikan gambaran yang cukup. Kalau mau
dicari-cari lagi silahkan, banyak pake banget soalnya.
Dari situ saja, sudah keliatan banget kalau standarisasi manusia itu salah besar. Dengan uniknya seorang individu, ya ga logis dan mengkhianati kodrat dong kalau kita mengharapkan hal yang sama dari semua orang. Tentu menjadi suatu hal yang canda ketika potensi diri individu yang spesial antar satu sama lain justru dibabat habis demi keseragaman.
Apakah anak-anak kita itu
“bahan mentah” yang harus diolah melalui pabrik bernama “sekolah” atau
anak-anak kita adalah manusia dengan bermacam karakter, potensi diri, dan
lika-likunya?
Kata anak gen-Z, ingat Bhinneka Tunggal Ika? Artinya berbeda-beda tapi satu jua, bukan berbeda-beda lalu semua dijadikan satu.
Kalau ditanya, sebenernya sekolah itu buat apa to? Kalau buat dapat ijazah lalu mencari kerja kok kayaknya cetek banget ya. Lagipula ketika kerja juga bukan cuma ilmu yang terbukti oleh ijazah yang dipakai, malah lebih terpakai ilmu-ilmu soft macam kepemimpinan, kemampuan organisasi, kehidupan bermasyarakat, dan lain-lain.
Kalau dibilang pendidikan itu mempersiapkan generasi penerus untuk masuk ke kehidupan nyata, kok ya aneh. Kehidupan nyata tidak hanya tentang akademis kan? Ada bermacam kemampuan yang harus kita miliki agar bisa hidup menjadi manusia seutuhnya, seperti tata cara hidup bermasyarakat, kemampuan dasar rumah tangga (memasak, mencuci, membersihkan rumah), pemahaman hukum, pengetahuan perpajakan, pengaturan kebugaran dan kesehatan, eksplorasi potensi diri, berpikir kritis, nilai-nilai moral, kemampuan melakukan kesenian dan menikmati seni, serta banyak lagi kemampuan yang lain.
Dari mana anak-anak kita akan mendapatkan life skill yang kita harapkan dari mereka kalau memang tidak diajarkan? Kita berharap lingkungan yang akan tiba-tiba mendidik anak kita untuk paham?
“Ya kan diajarin oleh orang tuanya”. Yakin? Kenapa hal-hal yang kita harapkan sudah dimiliki oleh orang berpendidikan itu justru hal-hal yang tidak secara eksplisit diajarkan di bangku sekolah yang notabene tugas utamanya adalah mendidik anak-anak kita? Kenapa hal-hal sepenting itu kita serahkan kepada dua pihak, yaitu keluarga dan lingkungan, yang sebenarnya berharap juga pada sekolah pula untuk mengajarkan kemampuan-kemampuan tersebut?
Kebalik-balik ga sih?
Format yang Lebih Baik
Kalau memang dirasa tidak
tepat, ya diubah. Simpel kan? Yok coba kita bayangkan format yang ideal dalam
pendidikan itu seperti apa.
Sekolah yang baik itu seharusnya kembali ke tujuan, yaitu menyiapkan generasi muda untuk siap mengarungi kehidupan bermasyarakat. Jadi, sekolah yang baik tentu yang bisa memenuhi janji tersebut.
Sekolah ini mampu memberikan ilmu dan kemampuan dasar yang cukup bagi seluruh siswa tanpa melupakan bahwa setiap siswa itu memiliki potensi dirinya masing-masing. Ilmu dan kemampuan dasar di sini adalah hal-hal yang akan menjadi dasar para siswa untuk mencari ilmu dan kemampuannya sendiri seperti membaca, berhitung, berkomunikasi, berpikir kritis, dan berdiskusi.
Potensi diri siswa diakomodasi melalui pelajaran yang bervariasi dalam konten dan ritme penyampaian. Tentu menarik ketika ada mata pelajaran memasak, menjahit, bersepeda, drama, matematika terapan dan lain-lain. Ketika ada yang kesulitan, maka pemberian materi dilambatkan untuk siswa tersebut. Sebaliknya, ketika ada yang sudah memahami dengan cepat, ya diberi materi yang naik tingkat agar anak tersebut terpuaskan rasa ingin tahunya.
Berikutnya, tidak ada istilah sekolah favorit dan tidak favorit. Menurut saya, sekolah favorit pada dasarnya hanya memiliki satu keunggulan yang pasti dibandingkan sekolah yang tidak favorit, yaitu reputasi. Hanya itu saja keunggulannya sebenarnya. Kenapa begitu? Karena sekali sebuah sekolah dikenal sebagai sekolah favorit, maka anak-anak terpintar akan berbondong-bondong mendaftarkan dirinya ke sana. Kalau sekolah yang bukan favorit? Lha pasti bukan anak-anak yang terpintar yang mendaftar ke sana.
Jelas dong kalau sekolah favorit bakal favorit terus, lha yang masuk juga pinter-pinter terus. Sebaliknya, jelas kenapa sekolah tidak favorit sulit untuk merubah reputasinya, yang masuk juga bukan yang paling pintar-pintar. Dua-duanya sama-sama GI-GO, yang satu Gold In-Gold Out, yang satunya lagi Garbage In-Garbage Out. Suatu hal yang tidak aneh. Sekolah yang bagus itu EIGO, Everything In-Gold Out. Mau siapa aja yang masuk, ya hasilnya bagus.
Mau dibilang Gold atau Garbage pun, parameter saat ini hanyalah kognitif dan akademis. Kembali lagi saya bertanya, hanya inikah yang kita harapkan dari manusia-manusia penerus masa depan Bangsa dan Dunia ini? Kalau memang iya, kenapa sering terdengar omongan mengenai “orang pintar yang tidak sukses”, “orang cerdas tapi kok tidak paham sosial”, “katanya pinter tapi kok korupsi”. Lha kan selama ini di sekolah hanya diajarkan kemampuan kognitif akademis saja, asumsinya kan hanya itu yang dibutuhkan untuk mencapai kesuksesan.
Eutopia Pendidikan itu Bernama Finlandia
Kalau kamu merasa spesifikasi
pendidikan atau sekolah seperti yang ditulis di atas ini hanyalah utopia, ya
kamu ga salah. Soalnya, perbedaan antara yang sekarang ada dengan yang
seharusnya ada itu ya jauh, bisa beberapa puluh tahun dulu tercapai kalau mau
ngomongin lingkup satu negara. Tapi ini bukan masalah jauh-dekat maupun
lama-cepat, ya tinggal mau atau tidaknya itu lho.
Biar rada optimis, ada kok kasus di mana negaranya siap untuk berubah dan memang memakan waktu yang lama untuk merevolusi sistem pendidikan di sana. Tapi usaha yang bertahun-tahun itu tidak sia-sia, karena hasilnya juga membawa negara tersebut ke level atas, bahkan tak jarang nomor satu, dalam percaturan pendidikan dunia. Negara apa? Mungkin sudah banyak yang mendengar ya, Finlandia.
Di lain waktu, bakal saya coba ceritakan agak lebih detail tentang Finlandia (belom pernah ke sana sih, tapi kalo ada yang mau bayarin ayok :3). Buat saat ini, coba kita ambil saja sebagian dari berbagai literatur yang ada di jagat maya.
Di Finlandia, menjadi guru adalah hal yang sulit dan dihormati karena untuk menjadi guru harus S2 dan hanya 10% pendaftar yang bisa menjadi guru.
Anak-anak tidak dibebani
dengan PR sampai sekitar SMP. Rasio guru-murid kecil, dengan rata-rata 1:12.
Tes standarisasi sangat minim,
yang wajib hanya satu kali di umur 16 tahun.
Anak-anak diberi waktu
istirahat yang cukup di sekolah.
Para siswa diberikan
kemampuan-kemampuan penting dalam kehidupan selain mata pelajaran yang umum.
Mereka diberikan waktu untuk
bermain, bersosialisasi, dan menjadi manusia seutuhnya.
Intinya, pendidikan itu
berpusat kepada para siswa, student-centered.
Bukan berarti semua yang ada di sana harus kita tiru mentah-mentah, tapi kita masih satu spesies manusia, jadi pasti ada elemen-elemen dasar yang dapat kita implementasi di Indonesia tentunya dengan olahan lokal Indonesia.
Hakikat Pendidikan
Jadi apa sebenarnya hakikat
sejati pendidikan? Kalau yang sekarang terjadi, sesuai dengan apa yang
orang-orang sering katakan, ya biar dapat kerja. Kenapa nyari kerja, ya buat
nafkah untuk menghidupi diri sendiri dan keluarga. Lha terus? Udah? Hidup hanya
tentang kerja dan nafkah saja? Kalau memang iya, kenapa banyak orang tidak
bahagia ketika sudah masuk dunia kerja bahkan ketika sudah kaya?
Eh, tapi sekolah memang tidak mengajarkan untuk bahagia kan ya? Jadi salah atau benar yang ada sekarang ini? Hidup cari apa sih? Pendidikan dan sekolah itu untuk mempersiapkan anak-anak kita menghadapi kehidupan kan ya? Lha kenapa dalam lingkup sekolah yang diberikan hanya akademis dan kognitif saja? Super ga sinkron.
Dalam kehidupan bermasyarakat, banyak kemampuan yang tidak diajarkan di sekolah tetapi secara ajaib anak-anak kita diharapkan memiliki kemampuan tersebut ketika sudah lulus sekolah. Ketika sang lulusan tidak memiliki kemampuan-kemampuan tersebut, sekolah disalahkan. Sekolah sendiri memberikan alasan bahwa “yang implisit semacam itu diajarkannya melalui keluarga dan lingkungan dong”. Eh lha, sekolah itu katanya buat persiapan dunia nyata, kok ngajarinnya setengah-setengah sih.
Kenapa di kehidupan “nyata” seseorang yang sudah lulus tiba-tiba diharapkan memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik dengan tetangga, toleransi dan tenggang rasa, memahami perpajakan, taat hukum, berpikir kritis, mengelola keuangan, mengurus tagihan listrik-air, mencuci, memasak, mengendarai kendaraan, menyelesaikan konflik, mengintrospeksi diri, menjalin hubungan sosial, mengurus dan mendidik anak, memahami arti sukses, menyadari potensi diri dan alasan lahirnya di dunia, serta masih banyak lagi. Tolonglah, siapa yang ngajarin kok tiba-tiba dianggap harus bisa?
Jadi, sebenernya kita itu mau digimanain?
Dear yang lulus PPG,
Sepertinya terlalu panjang,
jika unek-unek mereka saya curahkan semuanya kepada Anda. Lain kali semoga
dapat saya bersurat kembali kepada Anda dan semoga Anda tidak bosan membacanya.
Apapun yang si bawel tanyakan jangan diambil hati. Di negeri kita ini, buatlah
itu sebagai bahan tawaan.
Sekali lagi, untuk memahami tawa kita harus meletakkan tawa kepada lingkungan asalnya, masyarakatnya. Tawa harus memiliki kebersamaan sosial. Karena bahaya jika “kita hanya tertawa sendiri”. Setidaknya sebagai pendidik, kita berada pada lingkungan yang sama. Tertawa atau tidak nya kita akan terlihat dari sistem kerja otak kita.

0 Komentar